#DaftarPutarKMPL ini berisi lagu-lagu pilihan yang sering saya putar selama 1-2 bulan terakhir. Diperbaharui sebulan/dua bulan sekali– tergantung mood, xixixixi Jadi semisal Daftar Putar Januari 2021, saya akan unggah di bulan Februari 2021, bulan Februari 2021 saya unggah di Maret 2021, and so on.

Listnya juga beragam. Gak cuma lagu-lagu lawas, tentu saja ada rilisan-rilisan baru yang menurut saya menarik & patut disimak lebih lanjut.

Silakan simak Daftar Putar saya di Maret-April 2021 kemarin…

  1. Soleluna – Jelajah (Album)

Saya selalu punya tempat tersendiri bagi rilisan-rilisan Elevation Records. Selain karena Taufiq Rahman adalah salah satu penulis favorit saya, juga dedikasi mereka sebagai label “untuk menjadi filter/kurator rilisan sekitar”—mengutip pendapat Taufiq Rahman sendiri.

Termasuk Soleluna yang berasal dari Makassar ini.

Menghakimi Soleluna sebagai band post-rock jelas merupakan satu kesimpulan prematur, karena notasi mereka cenderung poppish bila dibandingkan dengan musik sejenis. (Mereka bahkan terang-terang’an menaruh label pop dalam bio Spotify).

Apapun itu, musik Soleluna begitu menarik, spacey, namun tidak muram. Malahan cenderung terang. Sekilas mengingatkan saya kepada produk keluaran musisi electronic favorit saya, Tycho, dengan sedikit warna GY!BE di sana-sini. (Oh, konon mereka juga suka Stanley Kubrick).

Cukup menyenangkan menemukan mereka

2. Ranupani – Maha Sutradara

Dari judulnya, kita bisa menaruh curiga bahwa Ranupani adalah gerombolan pemuda pesantren yang kebetulan jatuh cinta pada sastra. (Well tentu saja saya tak mengenal mereka). Namun jika didengarkan lebih lanjut dan juga kepo-kepo isi IG mereka, sejujurnya Ranupani lebih terkesima kepada alam semesta sebagai sesuatu yang maha, mengisyaratkan adanya sisi panteisme di dalam mereka.

Dan ya… mungkin saja nama Ranupani sendiri adalah penghormatan mereka kepada telaga maha indah bernama sama. Sekali lagi, ini bisa saja dugaan semata. Silakan tanya mereka sendiri

3. Igor Tamerlan – Bali Vanilli

Sosok asal Bali yang sayang sekali sudah almarhum ini adalah penjelmaan nyata dari kata “Visioner”. Jauh sebelum reggae dan rap masuk Indonesia, ia sudah bereksperimen dengan ragam musik tersebut. Yang sayang adalah, cukup sulit mencari materi Langkah Pertama artist ini. Semoga kelak ada label yang mau berbaik hati merilis ulang karya yang konon bisa di-head-to-head-kan dengan rilisan Fariz RM tersebut.

Yang masih mudah ditemukan adalah “Bali Vanilli”. MV lagu ini konon pernah ngetop di medio 1990-an—turt menghadirkan Balawan di sana. Namun sejujurnya, liriknya penuh kritik sosial yang sublim, seperti reff  “Hey Mister foreigner / Welcome kemari / I’m sure you would fell better / If you could stand under me.” Atau kata-kata “Di pulau Bali zaman sekarang ini / Tetap bertahan adat dan tradisi / Jika muda mudi suka yang trendy / Tak mungkin lagi Baliku kembali.” Tanpa perlu penjelasan lanjut, tercium ada kekhawatiran penduduk asli Bali yang khawatir akan janji-janji modernitas di sana.

Dan bagaikan cenayang, Igor selalu benar dalam meramalkan banyak hal—termasuk bahwa kelak, ia akan bisa menjual musiknya melalui internet. Buktinya 3 dekade sejak lagu ini dirilis, Nosstress tetap bernyanyi lagu yang sama…

“Bali  akupergi sebentar ya

pergi dari pantaimu yang katanya indah

yang  disekelilingnya berdiri hotel megah, wah…”

Rest In Peace, Igor Tamerlan.

4. Morisade- Heterochromia (Album)

Morisade adalah band favorit saya.

Mayedha selalu punya bassline yang membuat para bassist medioker—saya, salah satunya—memilih ikut The Strangers & membakar instrumen saya. Hijrah, daripada disuruh menyaingi cabikan low-end-nya. Sedangkan Fahem, si frontman yang sekarang solo-an itu, punya kemampuan songwriting dan gitaran sama baiknya.

Bersama, mereka punya kemampuan meramu kompleksitas dalam sebuah lagu yang easy-listening. Materi-materi album Heterochromia (album perdana mereka) buktinya. Banyak lagu yang sekilas hanya pantas dibuat bersantai, namun di dalamnya tersimpan beragam kecerdikan instrumentasi & aransemen. Dan hanya butuh satu kali penghakiman untuk mengamini pendapat saya di atas.

Terlepas dari ketiadaan hook yang memorable, saya akui album ini cukup menarik. Heterochromia adalah racikan pop RnB yang dikawinkan dengan warna-warni guitar shredding & unsur progresif di sana-sini. Jika ingin gambaran, bayangkan bagaimana bila John Mayer berworkshop ria dengan Utha Likumahuwa, lalu mengundang Eric Johnson sebagai session guitaristnya.

5. Munim – It was a film (EP)

Beberapa bulan lalu, mantan gitaris Morisade ini tiba-tiba merilis sebuah EP bertajuk It was a film. Di dengaran pertama, saya mengernyitkan dahi… ada pada titik di mana “Opo se?” dan “Asyik nih!”. Asing… akan musik yang dibawakannya.

Kesampingkan dulu masalah baik-buruk, saya rasa It was a film adalah karya yang cukup menarik (baca: berani). Saya pernah mereviu EP ini di Terpapar! Musik. Berikut kutipan reviu saya…

Perpaduan instrumental trap music & guitar-shredding seperti ini memang cukup baru (setidaknya bagi saya). Apalagi Munim tidak bermain dalam koridor blues dan neoklasikal– dua kutub yang langsung terngiang di kepala kala memperbincangkan gitaris solo. Pilihan nada Munim cenderung lebih gelap, minor-minor altered dipenuhi ambience suspended yang, seperti di awal tadi, rada “asing” di penghakiman pertama.

Yang belum saya sampaikan adalah: Pilihan menapaki unexplored zone seperti ini selalu punya tendensi menjadi stagnan. Stuck akan pattern yang begitu-begitu saja. Setidaknya itulah yang membuat saya berhenti mendengarkan Dream Theater sejak album Dream Theater (2013).

Apakah Munim akan jatuh ke lubang yang sama? Semoga saja tidak, karena cukup menyenangkan mendengarkan kejutan-kejutan seperti ini.

6. Chrisye – Kala Sang Surya Tenggelam

Tercatat Chrisye dua kali merilis lagu ciptaan Guruh Sukarnoputra ini. Generasi 90-an mungkin lebih mengenal yang versi aransemen ulang Erwin Gutawa di album Akusti Chrisye (1996), namun saya pribadi lebih suka versi aransemen Yockie di album Sabda Alam (1978).

Versi ini lebih minimalis: Hanya piano, sedikit gitar, & sentuhan string. Namun nuansanya selalu bikin merinding. Mistis, kalo ada satu kata yang bisa mewakili kesan lagu ini terhadap saya. Dari lagu ini pulalah, saya rasa Christabel Annora, Sal Priadi, hingga Sore sedikit banyak mendapatkan not-not minor sendunya.

One of Indonesian’s greatest, unarguably

7. Christopher Cross – Arthur’s Theme (The Best You Can Do)

“If you get caught between the Moon and New York City
The best that you can do is fall in love.”

Entah berapa banyak orang yang terinspirasi untuk “jatuh cinta di bawah purnama kota New York” karena lagu ini. Ya! Seperti “Yogyakarta” atau tembang-tembang Fariz RM, lagu ini bertanggungjawab dalam membentuk imaji-imaji serta romantisme akan sebuah kota

8. Fourplay – December Dream

Instrumental smooth jazz untuk siang hari yang sante.

9. Noegroho Darmo – Selia

Salah satu rilisan yang cukup mengejutkan—dan menyenangkan—bulan kemarin. Akhirnya bisa ada instrumental gitar yang bernuansa smooth jazzy.

*Reviu lengkapnya silakan baca di Terpapar! Kabar milik Terpapar! Musik

10. Dewa – Lagu Cinta

Banyak lagu bagus di Bintang Lima, namun yang paling memorable bagi saya adalah lagu ini. Nuansanya classy, notasi & chordnya menarik, dan secara aransemen juga challenging.

Btw secara musikal, lagu ini mengajari saya tentang keberadaan inversi & figured bass. Seperti misalnya ada chord Am7/G, G/D, D/C, hingga C/D. Kudos kepada Ahmad Dhani!

Dengarkan full playlistnya di Spotify!