Khusus di dalam tulisan ini; band ‘lokal’ = band ‘indie’ yang masih merintis, sidestream; termasuk band-band kampus itu juga termasuk di dalamnya, hehehe.

Atau kalau masih kesulitan, Band ‘Lokal’ = Selain Taylor Swift, Fourtwnty dan kawan-kawan.

Ok?

Saya rasa memberikan acungan jempol kepada sebuah radio untuk mengudara adalah hal yang tidak berlebihan hari-hari ini. Saat di mana waktu (dan kuota internet) kita sepertinya sudah ‘dikontrak’ oleh eksistensi YouTube dan jejaring sosial cem Lambe Turah; baik dalam kemasan IG, FB maupun Line Today, eksistensi sebuah radio bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang cutting-edge. Atau dalam bahasa India, kalau meminjam judul film Mehmood yang dikutip  Mahfud Ikhwan, dushman duniya ka; sang musuh semesta.

Well, mungkin agak berlebihan, tapi ya sudahlah.

Saya jelas bisa memberikan puluhan alasan sejarah peran radio sebagai media yang berkontribusi pada sebuah peradaban; salam udara, kuis, advertising, bahkan menemukan pasangan hidup. Namun dalam tulisan ini, saya ingin menyempitkan scope­-nya menjadi: Band. Atau dalam tahap lebih spesifik lagi; band kampus atau band ‘lokal’ (percayalah saya benci menggunakan istilah ini, namun demi pendefinisian khusus, saya terpaksa melakukannya kali ini).

Kalau berbicara luar negeri, contoh-contoh peran radio kampus untuk mengekspos band-band potensial sudah banyak sekali. The Cure, Pixies, REM, hingga The Smiths yang qalean puja-puja itu, banyak berhutang budi kepada radio-radio kampus yang memutarkan lagu-lagu mereka before they were cool.

Lalu dalam tataran band-band’an di kota Malang, kita sudah sering mendengar betapa legendarisnya Radio Senaputra dengan penyiarnya, Ovan Tobing. Radio tersebut mendefinisikan apa itu ‘rock Malang’- di samping almarhum GOR Pulosari yang konon merupakan ‘ruang sidang’ unit-unit yang berani mendapuk dirinya sebagai ‘band  rock’ tingkat nasional. Radio Senaputra ini memutarkan lagu-lagu cadas band-band nasional maupun mancanegara, mengedukasi para pendengarnya dan menjelma sebagai ‘kawan terbaik pendengar rock Malang’, mengutip parafrase Samack yang sudah you-know-who itu.

Nah, berkaca pada hal-hal di atas, bisakah kita melakukan hal serupa dengan radio kampus kita ini?

Sebuah Usulan Konten

Nah, dalam lingkup kampus pencetak guru ini, eksistensi radio kampus diwakili oleh radio milik Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Ikatan Pecinta Retorika Indonesia (IPRI), Tara Radio. Selain Tara, ada juga radio-radio level fakultas seperti TEP dan beberapa lainnya baik yang baru merintis, sudah dikenal maupun pernah ada.

Konten-konten yang ditawarkan dari radio-radio ini kebanyakan seputar memutar lagu-lagu hits manca maupun Indonesia sambil membahas beberapa berita di sekitar. Selain itu, ada juga sesi-sesi wawancara mengenai sebuah acara dan/atau hal-hal yang berhubungan dengan sekitar kampus.

Termasuk juga musisi-musisi kampus.

Ya, saya menjumpai beberapa kali Tara Radio mengundang band-band kampus ke dalam sesi wawancaranya. Tercatat ada Sumber Kencono, Rumah Serem, Samskrta dan beberapa lainnya yang pernah merasakan dikepo-kepo’i sama mereka.

Dalam hal ini, tentu kita patut memberikan apresiasi kepada Tara Radio yang telah aware dan berusaha mengekspos talenta-talenta di dalam kampus ini.

Namun saya rasa, ada beberapa hal yang saya rasa bisa ditingkatkan untuk mengoptimalkan peran radio kampus dalam perkembangan band-band ‘lokal’ kampus ini. Selain mengadakan sesi wawancara yang rutin dilakukan oleh Tara, berikut beberapa hal yang sempat terpikirkan:

Semisal, radio bisa nih, untuk mulai memutar karya-karya band-band ‘lokal’ ini. Sesi ini bisa dimasukkan dalam program wawancara tersebut di atas maupun menjadi program tersendiri. Semisal ketika memutarkan lagu-lagu top 40, kita ‘menyempilkan’ 1 atau 2 buah lagu band-band sini. Jadi semisal persentase-nya bisa 80% lagu top 40, 20% sisanya dialokasikan untuk mengekspos talenta-talenta ‘sini’.

Oh ya, kalau bisa, lagu-lagu band ‘indie’ ini kalau bisa jangan dipilih-pilih. Ya pada satu titik, bolehlah menyesuaikan dengan segmen radio. Tetapi kembali lagi, semangat ‘indie’ salah satunya adalah menjadi ‘alternatif’, bukan? Masak ya udah alternatif, dadak dipilih-pilih lagi biar segmented?

Dan terkadang kita tidak bisa memakai mindset ‘mainstream’ kala berbicara tentang musik-musik alternatif seperti ini. Yah salah satu contohnya saja, mainstream selalu menuntut keseragaman, tetapi sidestream (atau indie) selalu menawarkan keberagaman (Philip Vermonte di Jakartabeat).

Kalau memungkinkan, bisa diadakan juga live session kecil-kecil’an. Radio kampus ‘kan bisa selalu bekerja sama dengan sesama UKM, semisal dengan UKM musik setempat, Opus 275. Enak ‘kan? Bisa menjadi sebuah sarana belajar sekaligus kolaborasi unik antar-UKM.

Kalau perlu contoh, ada program No Major Label dari Elfara FM yang getol mendatangkan dan memutarkan band-band seantero Malang raya di dalamnya. Tinggal diadopsi, disesuaikan dengan kebutuhan kampus dan radio sendiri, dan saya rasa ini akan menjadi sebuah ‘sesuatu yang baru’ di dalam kampus ini.

Tentu saja ada banyak cara lain untuk meningkatkan konten di radio kampus kita. Tidak harus melakukan hal-hal di atas, atau bahkan mungkin ada alternatif-alternatif lain di luar yang ternyata lebih baik dari itu semua. Namun apapun itu, saya yakin cara-cara kreatif ini akan mendatangkan beberapa benefit baik kepada radio, maupun kepada lingkungan musik kampus itu sendiri. Beberapa di antaranya:

  • Diferensiasi dengan radio lain

Lagu-lagu top 40 mancanegara kini sudah mudah dan tersedia di genggaman spotify masing-masing. Jikapun tidak, masih ada YouTube. Pertanyaannya, apakah radio akan terus ingin bersaing dengan kemudahan akses itu dengan terus-menerus hanya memutarkan lagu yang itu-itu saja? Tentu patut direnungkan.

Nah, di saat hampir semua kompetitor berlomba-lomba menyeragamkan konten yang kekinian seperti di atas, bukankah dengan memutar lagu-lagu band ‘lokal’ sendiri, itu malah bisa menjadi ‘senjata’ dan faktor ‘pembeda’ bagi sebuah radio?

Dengan  memutarkan lagu-lagu band-band ‘lokal’ ini, bisa jadi ‘kan radio bisa mendapatkan segmen pendengar yang baru? Semisal dari fans-fans band tersebut atau apresiator band-band sidestream lainnya yang ingin tahu atau mencari bahan dengar yang baru. Who knows?

Tentu saja ini tidak berarti kita langsung menghilangkan lagu-lagu top 40 di atas. Tidak. Tentu memutarkan lagu-lagu pop masih diperlukan, terutama untuk keperluan branding dan suguhan konten kepada pendengar. Namun sekali lagi, apa salahnya memberikan alternatif, bukan?

  • Eksposur terhadap band-band kampus kepada lingkungannya sendiri

Dengan diputarnya lagu-lagu band ‘lokal’ kampus, radio mahasiswa ini juga ikut andil dan berkontribusi untuk mengekspos talenta-talenta potensial yang hadir dari dalam sini. Ya ‘kan?

Sebelum beranjak ‘keluar’, saya rasa untuk diputar dan di-interviu oleh radio kampus adalah salah satu batu pijakan yang baik untuk setiap band yang berasal dari dalam kampus, apalagi yang masih dalam tahap merintis.

Pada tahap selanjutnya, bukan tidak mungkin radio kampus ini bisa menjadi juntrungan untuk band-band yang sudah settled. Bisa saja kan? Semisal nih, band A yang sudah terkenal se-Malang raya kepingin roadshow ke radio-radio kampus untuk mengenalkan karya terbarunya kepada mahasiswa-mahasiswa pendengarnya? Ya, sebuah efek bagus bukan?

 

  • Melecut Semangat Band-Band Kampus untuk Berkarya

Masih berhubungan dengan poin nomor 2, siapa tahu dengan lagunya diputar di radio kampus, mereka makin termotivasi untuk membuat produk/karya-karya lain? Bisa jadi ‘kan?

Oh iya, saya kasih tahu satu rahasia: Band-band itu akan selalu senang, gembira, bersyukur (you name it!) kok kalau ada yang datang dan mengapresiasi karya mereka. Tenang saja, jangan malu-malu. Nanti kalau ada yang sok-sok’an ngartis, yaaaah, anggap saja itu ‘pencitraan’. Aslinya mah, ya berharap, Hehehehe.

Toh memang sudah menjadi rumus universal kalau ‘apresiasi’-sekecil apapun itu, akan selalu memberikan semangat bagi setiap orang yang berkarya.

 

Tentu saja, cara-cara di atas berlaku dua arah. Band-band ‘lokal’ kampus juga harus siap untuk produktif, mempunyai karya dan mempunyai visi misi ke depannya. Selain radio yang aktif mencari-talenta-talenta di dalamnya, band-band kampus ini juga kudu, wajib, fardu ain, proaktif untuk mencari link atau dalam tahap lebih baik lagi, menjalin pertemanan dengan mas-mas mbak-mbak radio ini.

Karena ya itu, di zaman yang sudah serba digital ini, menunggu seorang wartawan musik terkenal ‘menemukan’ band-mu, mengupas karya-karyamu secara mendalam hingga membuntutimu dalam tur mungkin hanya ada di film Almost Famous (Samack). Kecil kemungkinannya- kalau tidak mau dibilang rada sia-sia.

Dan ya, di tengah tidak jelasnya UM TV milik siapa (dan untuk apa), glorifikasi prestasi kampus di majalah mainstream kita, dan mahalnya UKT maba, saya rasa radio kampus masih dan bakal terus mempunyai peran penting sebagai corong suara bagi masyarakatnya.

Panjang umur kreativitas!

-KMPL- (@randy_kempel)

 

Bacaan: